/1/
sebab aku hanya rindu, maka menemukanmu sebagai hilir adalah kemungkinan yang tak kunjung kita pahami. serupa keberangkatan dengan peta singgah yang tak pernah pasti. atau biarkan saja tiap derap selalu terengah dengan luka dan nafasnya sendiri. kau, atau aku yang harus sampai lebih dulu, waktu selalu lebih tahu. dan mengabadikanmu sebagai hulu adalah puisiku paling lugu.
/2/
sudahlah, tak perlu lagi kau seterukan laju magrib yang menghampiri keretamu sore ini. sedang senja adalah stasiun terakhir yang memishakan perjumpaan tadi pagi. atau barangkali memang beginilah hidup harus kita sepakati. dialektika kegaiban yang tak kunjung purna kita perhitungkan; makrifat keheningan di hijab malam. sudahlah, aku akan selalu merindukanmu dalam diam. dan kita terlanjur berpamitan.
/3/
maka kini aku tahu, menggenangkan rindu di rahim waktu adalah membiarkan darah berhenti melaju. sedang denting yang patah di jantungmu mengabadikan hasrat yang bertalu. maka kubiarkan jarak yang tak sempat kita lipat tiba-tiba memanjang, mengukur jejak ingatan yang tak sempat kita kenang. dialah aku, derap yang gemetar dan lelah mencari sepi. membunuh mimpi setajam belati.
/4/
barangkali aku memang tak pernah tahu, bagaimana seharusnya membaca degub yang retak di garisgaris tanganmu. sebab rindu yg pernah kita dahagakan tibatiba melepuh dan api yang nanar di matamu makin luruh. maka kubiarkan saja jalan ini kekal tanpa muara, dengan gang-gang sempit yang kian tua. barangkali waktu demikian renta. dan aku masih terbata mengeja usia.
0 komentar:
Posting Komentar