Benarkah madu itu manis, maja itu pahit.
Apakah kayu itu benda kaku, sutera itu lemas.
Benarkah batu itu benda mati.
Betulkah kaca itu bening, tembok itu masif tak tembus cahaya.
*
Tentu saja tidak.
Semua yang bisa dilihat, diraba, dicium dan dirasa bukanlah hakekat. Cahaya yang terbias melalui prisma terurai menjadi tujuh. Apakah tujuh warna itu hakikat?
Tidak.
Tujuh warna adalah spektrum panjang gelombang, perbedaan frekuensi, tidak lebih dan tidak kurang.
Namun itulah keterbatasan mata manusia.
Kelemahan mata kita adalah nikmat Allah sebagai indera yang tidak mampu melihat spektrum gelombang dan merasakan getaran frekuensi sebagai getaran. Yang terjadi hanyalah reaksi saraf di selaput jala mata yang menerima getaran dan meneruskan ke pusat syaraf di otak yang menterjemahkan getaran berita syaraf menjadi warna dan bentuk.
Tetapi gelombang cahaya bukanlah warna. Daun yang hijau bukanlah hijau.
Hijau adalah bahasa otak yang menerima getaran syaraf berdasarkan informasi selaput jala dari sejumlah getaran gelombang dengan frekuensi tertentu yang datang ke arah kita setelah ditolak oleh daun yang menerima cahaya.
Warna-warna pada hakikatnya adalah bukan warna.
***
Gula adalah gula. Manisnya gula bukanlah hakikat gula. Untuk yang sehat gula itu manis. Bagi si sakit, syaraf lidahnya memberi isyarat yang berbeda… gula itu pahit. Manis dan pahit adalah bahasa otak, sedangkan gula adalah GULA.
Dinding tembok tidaklah masif. Karena dinding terdiri dari molekul yang terikat dalam ruang kosong antar molekul. Molekul terdiri dari atom yang tergabung dalam ruang antar atom. Sayangnya mata kita amat lemah dan tidak mampu melihat elektron berputar seperti planet di sekeliling matahari. Tembok menjadi masif, karena mata tidak mampu melihat ruang kosong diantara atom dan molekul.
***
Maka seniman menampilkan dunia yang berbeda, karena dunia ini memang tidak seperti yang terlihat. Jika kita melihat langit itu biru, seniman menggambarkan hitam legam bergaris putih atau seperti bulu merak aneka warna.
Seorang saintis berbeda dengan seorang seniman. Jika seniman mencari hakekat dengan intuisi dan perasaan, maka saintis menggunakan rumus-rumus dan hitungan.
Maka hakikat bintang berjarak 5 juta tahun cahaya dari bumi tidak kita tahu. Karena yang kita lihat adalah masa lampau bintang jutaan tahun yang lalu. Karena itu mata adalah mudah dibohongi. Mungkinkah kita silau oleh kilatan cahaya sesuatu yang sebenarnya tidak berwujud.
Karena mata yang lemah, sinar ultra violet tidak terlihat. Begitu juga sinar infra merah. Meskipun secara hakikat kedua sinar tersebut ada, karena panjang gelombangnya tercatat oleh alat.
***
Lidah dan syaraf perasa yang tidak sempurna, ditambah otak yang mudah dimanipulasi. Jadi, dimanakah letak kekuatan manusia?
Alam yang kita lihat bukanlah alam sebenarnya, semata-mata istilah yang kita berikan sendiri. Padahal seluruh tanggapan indera kita bersifat relatif, bukan hakikat.
Yang berwarna sesungguhnya tidak berwarna
Yang masif sesungguhnya tidak masif
Yang terlihat sesunguhnya tidak terlihat
Yang terbatas sesungguhnya tak terbatas.
Lalu dimanakah mencari hakikat di alam semesta??
0 komentar:
Posting Komentar